Komunikasi antara Orang Tua dan Anak Menjadi Kunci Kesehatan Mental Keluarga

Pondasi Keluarga yang Kuat Berasal dari Orangtua

NGANJUK, PING - Kesehatan mental menurut World Health Organization (WHO) adalah kondisi dimana individu menyadari potensinya sendiri memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan serta mampu bekerja secara produktif, menghasilkan serta mampu berkontribusi kepada komunitasnya. Hal itu disampaikan Nuril Bariroh saat mengisi program acara Beranda Kominfo 105,3 RSAL FM bertajuk 'Kesehatan Mental Keluarga Bersama dengan Psikolog dan Konselor Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Nganjuk', Rabu(12/10/2022) malam.

Dipandu host Asty Hanifa, Nuril Bariroh Psikolog Puspaga Nganjuk mengatakan jika ditarik kesimpulan ke ranah keluarga maka orangtualah yang menjadi pondasi utama dalam keluarga. Orangtua yang sehat mentalnya adalah mereka yang mampu mengelola emosinya dalam megasuh anak. Jika orangtua memberikan contoh yang baik kepada anaknya maka anak akan mencontoh perilaku orangtua. 

Harapannya anak akan tumbuh optimal baik secara psikologis maupun secara emosi, fisik, sosial emosi. Sehingga ia mampu mengembangkan kesehatan mental maupun fisiknya. Selain itu anak juga bisa lebih adaptif dengan lingkungannya bisa mengembangkan emosi dengan baik. "Jadi dia mampu mengatasi tekanan-tekanan yang normal secara umum misalnya stres", terangnya.

Baca Juga : PUSPAGA Buka Layanan Konseling dan Konsultasi Keluarga

Seperti halnya untuk mendidik anak agar mau tekun dan konsisten belajar itu juga membutuhkan sikap yang bijak tanpa mengedepankan emosi orangtua. "Yang harus dilakukan orangtua adalah memberi stimulus kepada anak memperhatikan kondisi fisik dan kesiapan anak misalnya dengan menanyakan sudah makankah, sudah tidur kah itu kan juga berpengaruh", bebernya. 

Selanjutnya kata Nuril mencoba mengamati bagaimana preferensi atau kecenderungan anak belajar itu, apakah di ruangan yang terang atau yang gelap atau dengan musik dan sebagainya. "Kita bisa setting lingkungan itu mana yang mendekati kesenangan anak dengan cara belajarnya", sarannya.

Kemudian yang paling penting adalah membuat kesepakatan bersama kepada anak kapan waktu belajar yang cocok dan menyenangkan bagi si anak. "Jadi bisa disepakati kapan waktu yang tepat belajar yang efektif", tambahnya. 

Nuril berpesan kepada semua keluarga yang ada di Nganjuk jika menemui permasalahan tentang keluarga dapat meminta bantuan tenaga profesional dari Puspaga Nganjuk. "Kami siap mendengarkan dan memberikan solusi terbaik. Silakan datang langsung ke Kantor Puspaga Jl Kapten Tendean nomor 14 B atau bisa janjian dulu lewat nomor whatsapp 082143562955", pesannya.

Baca Juga : Begini Pesan PUSPAGA untuk Terapkan Disiplin Positif pada Anak

Sementara itu keluarga yang sehat mental itu menurut Dewi selaku Konselor Puspaga Nganjuk, yakni terbentuk dari keluarga yang ideal. Jadi keluarga yang sehat mental itu pasti memiliki pondasi yang kuat dimana pondasi itu adalah orangtua. Jika orangtua sudah siap mental dulu yang sudah mereka siapkan sebelum menikah. Ketika orangtua sudah siap menikah artinya mereka sudah siap melanjutkan ke jenjang berikutnya sampai memiliki keturunan. 

"Kan ada yang bilangnya siap menikah tapi ternyata secara mental dia belum siap akhirnya rumah tangganya retak, ini yang kemudian menyebabkan goncangan-goncangan kesehatan mental di dalam keluarga. Dan itu berdampak pada anak", tuturnya.

"Ibarat penelitian anak merupakan variabel Y (terikat) dan orangtua variabel X yang mempengaruhi si anak", imbuhnya.

Sedangkan anak yang sehat mentalnya kata Dewi adalah dia yang bisa menerima keadaan walaupun ada orangtua yang cerewet atau sebagainya. Jika anak tidak bisa menerima maka yang terjadi anak akan over thinking kenapa orangtuanya marah. Hal itu artinya anak belum bisa memahami dirinya apa yang sebenarnya ia inginkan.

"Ini namanya si anak kurang berkomunikasi dengan orangtuanya (curhat). Sebaiknya orangtua itu sejak dini sudah membiasakan anaknya untuk ngobrol curhat kepada orangtuanya apa yang sedang dialami atau dirasakan si anak. Ini suatu cara agar anak tidak menutupi sesuatu atau berbohong kedepannya", tandasnya.

Baca Juga : Begini Penjelasan PUSPAGA tentang Gangguan Bicara pada Anak

   

Foto header   : unairnews

0 Komentar